PROPORSAL TESIS
PENGARUH PENGGUNAAN PEMBELAJARAN
KONTEKSTUAL TERHADAP
HASIL BELAJAR BAHASA INGGRIS
DITINJAU DARI KEAKTIFAN SISWA
Oleh:
Bambang Purnomo
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan
bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan
untuk menghadapai tantangan sesuai
dengan tuntutan perubahan kehidupan local, nasional, dan global sehingga
perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan. Oleh karena itu
proses dan mutu pembelajaran perlu ditingkatkan agar pembelajaran dapat
dilaksanakan secara aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sehingga anak
didik dapat menggembangkan potensi diri dan dapat memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kurikulum 2004, yang merupakan embrio dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) yang selanjutnya dikembangkan lagi menjadi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) mengamanatkan bahwa setiap lulusan harus telah
memiliki kompetensi yang diprasaratkan dalam standar kompetens maupun
kompetensi dasar yang sudah ditetapkan dalam kurikulum tersebut. Model
kompetensi ini dirumuskan sebagai kompetensi berkomunikasi yang mempunyai
tujuan akhir pada pencapaian kompetensi wacana (discourse competence).
Kompetensi wacana
memprasaratkan bahwa peserta didik dalam menggunakan bahasa dalam komunikasi
harus selalu secara tepat mempertimbangkan konteks budaya dan konteks situasi.
Kompetensi wacana tidak mungkin tercapai tanpa adanya kompetensi kebahasaan
yang lain yang meliputi kompetensi tindak bahasa dan retorika (yang tercakup
dalam actional competence),
kompetensi linguistic (linguistic competence),
kompetensi sosiokultural (sociocultural
competence) dan kompetensi strategis (strategic
competence). Selain kelima kompetensi tersebut, kurikulum 2004, KBK, KTSP
juga melihat sikap sebagai hasil belajar. Oleh karena itu untuk mencapai hal
tersebut perlu proses pembelajaran yang berkwalitas. Misalnya kreatifitas dan
inovatif pembelajaran guru perlu ditingkatkan, hasil pembelajaran bahasa
Inggris masih perlu ditingkatkan baik
secara kwantitas maupun kwalitasnya, keaktifan dan kreatifitas siswa perlu ditingkatkan,
degradasi moral dalam masyarakat khususnya
siswa-siswa usia Sekolah Menengah Pertama Negeri kususnya dan usia
remaja pada umumnya perlu dicegah dan ditangani dengan arif dan bijaksana,
pemilihan dan atau pembuatan bahan ajar yang sesuai dengan kompetensi yang akan
dicapai dan sekaligus dapat mengembangkan budaya nasional dan mengangkat
potensi yang dimiliki oleh daerah-daerah di Indonesia.
Keberhasilan atau
kegagalan suatu pendidikan pada dasarnya dapat dilihat dari perubahan sikap dan
tingkah laku atau dari prestasi hasil pembelajaran yang dicapai oleh orang yang
telah mendapat proses pembelajaran . Tetapi tidak semua kegiatan pendidikan selalu mendapatkan hasil yang
optimal, kadang-kala juga menemui kegagalan.
Mata
pelajaran bahasa Inggris mempunyai karakteristik yang berbeda dengan mata
pelajaran lain untuk itu agar dapat mengajar dengan baik, guru memerlukan
informasi tentang karakteristik mata pelajaran bahasa Inngris. Perbedaan ini
terletak pada fungsi bahasa sebagi alat komunikasi. Hal ini mengidikasikan
bahwa belajar bahasa Inggris bukan hanya belajar kosakata dan tatabahasa dalam
arti pengetahuannya, tetapi harus berupaya menggunakan atau mengaplikasikan
pengetahuan tersebut dalam kegiatan komunikasi. Seorang siswa belum dapat dikatakan
menguasai bahasa Inggris jika dia belum dapat menggunakan bahasa Inggris untuk keperluan komunikasi.
Kenyataan
siswa belajar bahasa Inggris selama empat jam pelajaran setiap minggu di Sekolah
Menengah Pertama Negeri, tetapi kemampuan berbahasa Inggris masih rendah. Ada
tiga masalah yang mengemuka dalam pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia pada
umumnya dan di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen pada khususnya . Persoalan
pertama adalah masih rendahnya pencapaian hasil belajar bahasa Inggris siswa (real scholastic achievement). Indikator
kasarnya dapat dilihat dari hasil ujian nasional tahun pelajaran 2009/2010 masih
banyak anak yang tidak lulus.
Permasalahan
kedua adalah ketidakmampuan siswa dalam menggunakan ketrampilan berbahasa (language skill) yang mereka pelajari
dalam komunikasi berbahasa Inggris. Hal tersebut berdasarkan pengamatan dan
informasi gugu-guru bahasa Inggris di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen.
Keadaan tersebut pada umumnya disebabkan pembelajaran bahasa Inggris hanya
mengacu pada soal-soal Ujian Nasional dalam hal ini hanya mencakup terutama
ketrampilan membaca pemahaman (Reading
comphrehension), sedangkan ketrampilan berbicara (speaking), mendengar (listening)
dan menulis (writing) terabaikan.
Kenyataan
lain yang terjadi di lapangan adalah belum optimalnya guru dalam memilih bahar
ajar, media pembelajaran dan metode pembelajaran sehingga pembelajaran tidak
dapat mencapai kompetensi sesuai apa yang diharapkan, selain itu dengan
perubahan kurikulum 2004, KBK, KTSP belum semua guru mengetahui dam memahami
isi dari apa yang dimaksud dalam kurikulum tersebut, maka dari itu profesionalisme guru harus
selalu ditingkatkan.
Ketidak
optimalan tersebut diatas dikarenakan pembelajaran selama ini dilakukan sacara
konvensional, misalanya; pembelajaran dilakukan dengan metode ceramah tidak
bervariasi, ceramah tanpa menggunakan media, ceramah dengan hanya tanya jawab,
dan sebagainya. Sehingga pembelajaran belum mengoptimalkan alat perespon yang
dimiliki peserta didik secara optimal karena masing-masing memiliki gaya
belajar sendiri-sendiri. Ada yang bergaya belajar audio, yaitu peserta didik
akan optimal dengan metode caramah, gaya belajar visual, peserta didik akan
optimal dalam belajarnya jika disertai tayangan atau media yang bisa direspon
lewat alat indera pengihatannya dan ada juga peserta didik yang bergaya belajar
kinestetik, dalam hal ini peserta didik akan optimal jika pembelajaran
mengaktifkan fisik atao otot mereka untuk melakukan dan merespon stimulus yang
diberikan.
Gaya
belajar setiap individu biasanya memiliki gaya belajar tidak hanya satu tetapi
mungkin ada yang memiliki gaya belajar
dua atau tiga macam. Bagi peserta didik yang demikian biasanya akan
lebih mudah merespon stimulus yang disampaiakan oleh pendidik dibandingkan
pembelajar yang hanya memiliki hanya stu gaya belajar, dan mereka yang,
memiliki gaya belajar yang lebih dari satu mereka umumnya mudah menyesuaikan
terhadap stimulus yang ada.
Untuk
itu untuk mengoptimalkan keaktifan siswa perlu adanya pendekatan pembelajaran
yang sesuai sehingga dapat meningkatkanhasil belajar yang peserta didik
lakukan. Hasil belajar dalam hal ini meliputi dua hal yaitu: hasil proses
pembelajaran dan hasil pestasi belajar atau disebut hasil belajar saja.
Dari
pengamatan yang peneliti lakukan bahwa sebagian besar siswa belum optimal dalam
memeperoleh hasil pembelajarannya. Hal ini terjadi karena para pendidik belum
menggunakan pendekatan pembelajaran yang dapat mengaktifkan proses pembelajaran
sehingga semua kompetensi yang harus dimiliki peserta didik dapat dibelajarkan
secara optimal. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diharapkan dapat
menjawab masalah tersebut diatas adalah pendekatan pembelajaran kontesktual (Contextual Teaching and Learning Approach)
yang selanjutnya disebut dengan pendekatan kontekstual.
B. Identifikasi Masalah
Masalah-masalah yang dapat peneliti identifikasi
dintaranya adalah sebagai berikut:
1. Pengaruh metode pembelajaran yang bervariatif terhadap
perolehan hasil belajar siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan
Gombong Kabupaten Kebumen
2. Pengaruh penggunaan pembelajaran
kontekstual/Cotextual Teaching and
Learning terhadap perolehan hasil belajar siswa Sekolah Menengah Pertama
Negeri di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen
3. Pengaruh pembelajaran paikem terhadap
perolehan hasil belajar siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan
Gombong Kabupaten Kebumen
4. Pengaruh model pembelajaran integrated
terhadap perolehan hasil belajar siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan
Gombong Kabupaten Kebumen
5. Pengaruh aktifitas siswa terhadap perolehan hasil belajar siswa Sekolah
Menengah Pertama Negeri di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen
6. Pengaruh kreatifitas terhadap perolehan
hasil belajar siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan Gombong
Kabupaten Kebumen
7. Pengaruh motivasi siswa terhadap perolehan
hasil belajar siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan Gombong
Kabupaten Kebumen
8. Pengaruh kedisiplinan siswa terhadap
perolehan hasil belajar siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan
Gombong Kabupaten Kebumen
9. Pengaruh tingkat kecerdasan siswa terhadap
perolehan hasil belajar siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan
Gombong Kabupaten Kebumen
10. Pengaruh rasa senang siswa terhadap
perolehan hasil belajar siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan
Gombong Kabupaten Kebumen
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dilakukan
dengan tujuan menghomogenkan data populasi, Dengan teknik random sampling yang digunakan untuk mendapatkan 30-40 responden tersebut minimal akan terkait
dengan empat hal kerena populasi tidak homogen. Pertama melilih sekolah yang
akan digunakan sampel, kerena ada 4 kategori sekolah tetapi masing-masing
jumlahnya tidak proporsional maka peneliti menggunakan disproporsional stratified random sampling. Dari teknik ini
peneliti akan menentukan dua kategori sekolah yang akan digunakan sebagai
sekolah sampel. Dalam hal ini diambil 1 sekolah RSSN dan 1 SSN. Kedua, karena wilayahnya mencakup sekabupaten
peneliti perlu melanjutkan teknik random sampling untuk efisiensi dengan
menggunakan cluster random sampling (area random sampling) yaitu untuk
menentukan wilayah yang memiliki SSN atau RSSN. Dengan teknik tersebut peneliti
mendapatkan Kecamatan Gombong sebagai tempat penelitian dan sekolah yang
digunakan untuk tempat penelitian dengan teknik random sampling yaitu Sekolah
Menengah Pertama Negeri 3 Gombong sebagai sekolah kontrol dan Sekolah Menegah
Pertama Negeri 2 Gombong sebagai sekolah ekperimen. Ketiga menentukan kelas
sampel, dengan teknik random sampling peneliti mendapatkan siswa kelas 9a
Sekolah Menegah Pertama Negeri 2 Gombong sebagai kelas ekperimen (untuk
pembelajaran pembelajaran
kontekstual ) dan siswa kelas
9b Sekolah Menengah Pertama Negeri 3
Gombong sebagai kelas kontrol (untuk
pembelajaran konvensional.
Dari
identifikasi masalah yang ada, penelitian dibatasi pada masalah sebagai
berikut:
1. Pengaruh penggunaan pembelajaran
kontekstual terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa Sekolah Menengah
Pertama Negeri di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen.
2. Pengaruh keaktifan siswa terhadap hasil
belajar bahasa Inggris siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan
Gombong Kabupaten Kebumen.
3. Interaksi penggunaan pembelajaran
kontekstual dan keaktifan siswa terhadap
hasil belajar bahasa Inggris siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan
Gombong Kabupaten Kebumen.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi
masalah dan pembatasan masalah penelitian diatas, peneliti merumuskan masalah
sebagai berikut:
a. Apakah ada pengaruh penggunaan pembelajaran
kontekstual terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa Sekolah Menengah
Pertama Negeri di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen?
b. Apakah ada pengaruh aktifitas siswa terhadap
hasil belajar bahasa Inggris siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan
Gombong Kabupaten Kebumen?
c. Apakah ada interaksi penggunaan pembelajaran
kontekstual dan keaktifan siswa terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa Sekolah
Menengah Pertama Negeri di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen?
E. Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Secara
umum peneltitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran
kontekstual dan aktifitas siswa terhadap hasil belajar.
2. Tujuan Khusus
Selain
tujuan umum penelitian ini juga memiliki tujuan khusus, adapun tujuan khusu dari penelitian ini adalah ebagai berikut:
Kegiatan
ini memiliki tujuan khusus antara lain sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan pembelajaran
kontekstual terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa Sekolah Menengah
Pertama Negeri di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen?
b. Untuk mengetahui pengaruh aktifitas siswa
terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan
Gombong Kabupaten Kebumen?
c. Untuk mengetahui interaksi penggunaan pembelajaran
kontekstual dan keaktifan siswa terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa Sekolah
Menengah Pertama Negeri di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen?
Secara umum penelitian ini
untuk mengetahui pengaruh penggunaan pembelajaran kontekstual dan aktifitas siswa
terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan
Gombong Kabupaten Kebumen
F. Manfaat Peneltitian
a. Bagi Pendidik
Memberikan informasi faktual tentang pengaruh
penggunaan pembelajaran kontekstual dan
aktifitas siswa terhadap hasil belajar pada umumnya dan khususnya hasil belajar
bahasa Inggris siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan Gombong
Kabupaten Kebumen.
b. Bagi lembaga/instansi.
Hasil penelitian
ekperimen tentang pengaruh
penggunaan pembelajaran kontekstual dan aktifitas siswa terhadap hasil belajar
pada umumnya dan khususnya hasil belajar bahasa Inggris siswa Sekolah Menengah
Pertama Negeri di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen sebagai bahan masukan dalam menyiapkan program-program
pengembangan peningkatan kualitas pendidikan
pada program tahun berikutnya.
d. Bagi Peneliti Lain
Semoga
hasil penelitian ekperimen tentang pengaruh penggunaan pembelajaran
kontekstual dan aktifitas siswa terhadap
hasil belajar pada umumnya dan khususnya hasil belajar bahasa Inggris siswa Sekolah
Menengah Pertama Negeri di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen dapat
dikembangkan untuk penelitian pada mata pelajaran yang lain.
BAB II
LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
Deskripsi teori yang
dibahas dalam penelitian ini adalah teori-teori yang berhubungan dengan
variabel-variabel yang akan diteliti antara lain adalah sebagau berikut:
1. Contextual Teaching and
Learning (Pembelajaran Kontekstual)
Contextual Teaching and Learning
Approach (pembelajaran
kontekstual approach) merupakan pendekatan pembelajaran
dimana proses pembelajaran seoptimal mungkin mengkaitkan materi pembelajaran
dengan konteks yang ada di dunia nyata sehingga siswa dapat menerapkan ilmu dan
pengalaman yang mereka dapatkan dari proses pembelajaran untuk bisa survival dalam hidup yang sebenarnya
kelak. Dan bekal yang sudah mereka miliki merupakan modalitas untuk ketrampilan
hidup (life skill). Menurut Zahorik
pengertiannya adalah sebagai berikut:
“Knowledge
is constructed by humans. Knowledge is not a set of facts, concept, or laws waiting to be discovered. It is
not something that exists independent of a knower.
Humans create or construct knowledge as they attempt to bring meaning
to their experience. Everything that we know, we have made”
Zahorik
: Contextual Teaching-Learning (2003:3)
Menurut Elaine B. Johnson ada tujuh
strategi penting dalam berupaya melaksanakan pembelajaran dengan mengggunakan
pendekatan pembelajaran kotekstual antara lain sebagai berikut: pengajaran
berbasis masalah, menggunakan konteks yang beragam, mempertimbangkan
kebhinekaan siswa, memberdayakan siswa untuk belajar sendiri, belajar melalui
kolaborasi, menggunakan penilaian autentik dan mengejar standard tinggi.
(Elaine B. Johnson, 2010:21-23)
Disamping itu ada tujuh prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual adalah
sebagai berikut:
1.
Kontruktivisme (Constructivism)
Constructivsm
(Konstruktivisme) merupakan landasan filosofis pendekatan pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas
melalui koteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konnyong. Pengetahuan
bukan seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan member makna melalui
pengalaman nyata. (Depdiknas 2002:10-11)
2.
Menemukan (Inquiry)
Menemukan
merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan
ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. (Depdiknas 2002: 12) Lima siklus inkuiri adalah:
a.
Observasi (Observing)
b.
Bertanya (Quetioning)
c.
Mengajukan dugaan (Hipotesis)
d.
Pengumpulan data (Data gathering)
e.
Penyimpulan (Conclussion)
3.
Bertanya (Questioning)
4.
Pemodelan (Modeling)
5.
Belajar Berkelompok (Learning Community)
6.
Penilaian sebenarnya (Authentic
Assessment)
7.
Refleksi (Reflection)
Dengan didasari teori belajar
kontruktivistik bahwa belajar adalah proses mengkontruksi sesuatu pada seorang
individu yang sedang melkukan pembelajaran, bukan peoses transfer ilmu.
Pembelajaran akan lebih bermakna jika daya pikir pembelajar dapat mencapai pada
tingkat menkontruksi suatu yang mereka dapatkan.
Pembelajaran kontekstual adalah sebuah
system yang tidak berdiri sendiri. Pembelajaran kontekstual mengandung
bagian-bagian yang salin terkait dan berhubungan. Dari bagian-bagian yang ada
memiliki hal yang unik dan meberi dampak yang tersendiri. Untuk itu agar proses
pembelajaran dapat lebih memberi makna bagian-bagian yang terpisah itu dapat
saling terkait dan dapat member kontribusi masing-masing sehingga dapat
membantu siswa dalam memahami makna dari pembelajaran termasuk materi-materi
yang bersifat akademik.
Ada
8 komponen yang terkait dengan pembelajaran kontekstual antara lain sebagai
berikut:
1.
Membuat keterkaitan-keterkaitan yang
bermakna
2.
Melakukan pekerjaan yang berarti
3.
Melakukan pembelajaran yang diatur
sendiri
4.
Bekerjasama
5.
Berfikir kritis dan kreatif
6.
Membantu individu untuk tumbuh dan
berkembang
7.
Mencapai standar tinggi
8.
Menggunakan penilaian autentik
Menurut
Johnson dalam (Elaine B. Johnson,
2010:19) bahwa hakekat pembelajaran kontekstual adalah makna,
bermakna, dan dibermaknakan seperti yang tertera dalam kutipan sebagai berikut:
...
an educational process that aims to help students see meaning in the academic
material they are studying by connecting academic subjects with the context of
their daily lives, that is, with contect of their personal, social, and
cultural circumtance. To achieve this aim, the system encompasses the following
eight component: making meaningful connections, doing significant work,
selt-regulated learning, collaborating, critical an creative thinking,
nurturing the individual, reaching high standard, using authentic
assessment.(Johnson,2002:25)
2.
Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvesional yang dimaksud adalah
pembelajaran yang dilakukan dengan metode ceramah dengan tanya jawab tanpa
menggunakan media pembelajaran. Sehingga pembelajaran belum mengoptimalkan
semua kelompok pembelajar dengan gaya audio, visual maupun kinestetik sehingga
pembelajaran sangat didominasi oleh peran guru.
3.
Hasil Belajar
Dalam
kurikulum tingkat satuan pelajaran dinyatakan bahwa hasil belajar terdiri dari
2 yaitu: hasil belajar berdasarkan penilaian hasil dan penilaian berdasarkan
proses. Sehingga penilaian hasil dapat dilakukan dengan tes tertulis sedangkan,
penilain proses dapat dilakukan dengan cara pengamatan, dokumentasi foto maupun
movie, kuesioner, angket dan cara lain yang dapat memberikan gambaran tentang
perose yang terjadi baik dari segi aktivitas siswa, managemen kelas,
metode/model/teknik pembelajaran itu berlangsung.
Menurut
caranya dibagi menjadi 2 cara yaitu: dengan cara tes dan non-tes.
Dengan tes itu dilakukan untuk memperoleh hasil
pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan pada setiap KD atau beberapa KD, dalam
hal ini dikenal dengan ulangan harian, ulangan blok, tes formatif dan tes
sumatif, ulangan tengah semester, ulangan semester dan ulangan kenaikan kelas,
evaluasi tahap akhir dan atau ujian sekolah maupun ujian nasional.
Dari data
yang diperoleh dapat berupa data nilai kuantitatif maupun kualitatif.
Data nilai kuantitatif semua penilaian yang dilakukan
dengan satuan angka misalnya: nilai 0 – 10 atau nilai 0 – 100. Sedangkan data
nilai kualitatif dapat berupa penilaian non-angka/data verbal misalnya: amat
baik, baik, cukup, kurang, dan kurang sekali atau misalnya sangat tinggi,
tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah.
Untuk
mengetahui hasil belajar dapat dilakukan dengan tes tertulis. Tes tertulis
dikelompokan dalam tes yang sifatnya subyektif dan tes yang sifatnya obyektif.
Tes subyektif biasanya tes yang berbentuk esai (uraian). Tes bentuk esai adalah
sejenis tes untuk mengetahui perolehan hasil belajar yang memerlukan jawaban
yang bersifat pembahasan atau uraian kata-kata. Ciri-cirinya pertanyannya
didahului dengan kata-kata seperti; uraikan, jelaskan, mengapa, bagaimana,
bandingkan, simpulkan, dan sebagainya. Tes obyektif adalah tes yang dalam
pemeriksaannya dapat dilakukan secara obyektif karena hasil tes dapat dilakukan
oleh pihak lain yang tidak harus oleh pengajarnya atau yang membidangi materi
yang diteskan. Macamnya adalah seperti; tes benar-salah (true-false), Tes
pilihan ganda (Multiple choise test), Menjodohkan (matching test) dan Tes isian
tertutup (Completion test). Macam-macam tes diatas biasanya untuk mengukur
hasil belajar pada ranah kognitif, sedangkan ranah afektif tidak semudah ranah
kognitifuntuk melakukan pengukuran. Pengukuran ranah afektif dalam hal ini
misalnya sikap tidak dapat diukur sewaktu-waktu ( dalam arti pengukuran secara
formal) karena perubahan tingkah laku tidak dapat berubah sewktu-waktu.
Pengubahan sikap seseorang memerlukan waktu yang relatif lama termasuk
pengembangan minat, penghargaan, serta nilai-nilai. Untuk itu perangkat
pengukuran yang digunakan dapat mengunakan catatan-catatan pengamaten,
kuesioner atau cara lain yang memungkin dapat dilakukan dan paling cocok dengan
kondisi dari yang dinilai atau diukur.
Ranah yang
lain adalah ranah psikomotor. Pengukuran ranah ini untuk mengetahui terhadap
hasil-hasil belajaryang berupa penampilan atau ketrampilan. Untuk mengukur hal
ini dapat digunakan rubrik penilaian atau pengukuran dengan instrumen menurut
skala Likert dengan skor dari kecil ke angka yang lebih besar jika memerlukan
data kuantitatif atau data kualitatif dari paling rendah ke paling tinggi, atau
dari sangat jelek ke sangat baik dan atau sebaliknnya.
Hasil
belajar adalah sesuatu pencapaian dari suatu kegiatan belajar. Pencapaian hasil
belajar dapat diketahui dengan dua cara yaitu; dengan cara pengukuran (kegiatan
menentukan kuantitas suatu obyek) dan dengan cara penilaian (kegiatan
menentukan kualitas suatu obyek). Karena keduannya ada perbedaan yang
prisipiil, kedua kegiatan dapat dikatakan ’dua’ atau dwi, Tetapi kedua kegiatan
itu saling berhubungan maka kegiatan itu kadang disebut dengan
sebutan’dwitunggal’.Dari pembahasan pengertian pengukuran dan penialain sifat
suatu obyek seperti telah disebutkan diatas, bagaimanapun kegiatan tersebut
harus dapat benar-benar mewakili sifat suatu obyek. Dengan kata lain skor atau
nilai prestasi belajar dapat mewakili prestasi belajar yang sesunggguhnya.
Kegiatan mengukur
sifat suatu obyek adalah suatu kegiatan menentukan kuantitas sifat suatu obyek
melalui aturan-aturan tertentu sehingga kuantitas yang diperoleh benar-benar
mewakili sifat suatu obyek yang dimaksud. Kuantitas yang diperoleh dari suatu
pengukuran sifat suatu obyek adalah skor, misalnya: 60, 57, 68, 89,75
59,76,75,75,90 dan sebagainya. Kuatitas pengukuran sifat suatu obyek dibedakan
menjadi dua yaitu; kuantitas kontinu dan kuantitas niminal. Yang dimaksud skor
kontinu adalah suatu kuantitas yang unit-unitnya mengalami perubahan secara
berangsur-angsur, misalnya dari 60 menjadi 60,5 atau menjadi 59,5 dan
seterusnya.
Adapun yang dimaksud dengan kuantitas nominal atau
deskrit adalah suatu kuantitas yang unit-unitnya tidak dapat berubah-ubah dari
15 menjadi 15,5 siswa atau 14,5 siswa dan seterusnya. Oleh karena itu dalam
dunia pendidikan dalam pengukuran hasil
belajar hanya mengenal kuantitas kontinu. Kuantitas kontinu diatur dalam dua
skala yaitu; skala interval dan skala ordinal. Skala interval suatu skala yang
tidak mengenal titik nol mutlak dan intervalnya sama, sedangkan skala ordinal adalah
skala yang tidak mengenal titik nol mutlak dan intervalnya tidak sama. Suatu
skala tidak mengenal titik nol mutlak maksudnya adanya suatu kuantitas dari
sifat suatu obyek dalam skala tersebut tidak terukur oleh suatu alat pengukur,
maka diberi angka nol. Tetapi bukan berarti tidak ada kuantitas sama sekali.
Kegiatan
menilai sifat suatu obyek adalah suatu kegiatan menentukan kuanlitas sifat
suatu obyek. Kagiatan tersebut tidak lepas dari skor-skor sifat suatu obyek.
Agar skor-skor itu bermakna maka perlu dibandingkan dengan suatu acuan-acuan
yang relevan, yang sesuai dengan sifat suatu obyek, misalnya prestasi belajar
siswa dalam penguasaan mata pelajaran tertentu. Kegiatan membandingkan harus
dilakukan secara obyektif sehingga hasil perbandingan yang berupa makna atau
kualitas benar-benar mewakili kualitas hasil belajar yang sesungguhnya.
Misalnya; kualifikasinya amat baik, baik, cukup, kurang atau meragukan, amat
kurang, atau gagal.
Kualitas
atau nilai sifat suatu obyek akan ada apabila kuantitas dari sifat suatu obyek
tersebut. Demikian pula, kuantitas suatu obyek tidak akan berarti jika
kuantitas itu tidak diubah menjadi kualitas.
4.
Keaktifan
Keaktifan
berasal dari kata dasar aktif mendapat awalan ke dan akhiran an sehingga dari
kata sifat menjadi kata benda yaitu proses kegiatan aktif. Aktif dimaksud bukan
saja aktif jasmani saja dalam hal ini mencakup aktif otak dan perasaan.
Sehingga keaktifan tersebut meliputi aktif jasmani, rohani, dan daya pikir
manusia. Dengan kata lain, manusia dikatakan aktif jika satu atau lebih dari
indera kita berfungsi untuk merespon dari stimulus yang ada, oleh karena itu
keaktifan tidak hanya dirtikan aktif karena adanya gerakan badan, kepindahan
badan seseorang tetapi orang dapat dikatakan aktif jika fungsi indera seseorang
mampu merespon stimulus yang ada sehingga dapat mengaktifkan fungsi otak yang
dimiliki individu tersebut. Jadi seseorng kelihatannya diam secara fisik tetapi
dapat dikatakan aktif karena mereka sedang melakukan kegiatan mendengar dan
berfikir. Dalam hal ini yang aktif bukan fisik secara keseluruhan tetapi fungsi
otak yang sedang berfungsi dan tingkat keaktifan otak manusia tidak tidak sama
antara individu yang satu dengan lainnya. Pada usia anak-anak (12 – kebawah)
sering kali yang lebih dominan adalah keaktifan fisik tetapi setelah melewati
usia anak banyak sekali keaktifan yang tadinya fisik bergeser ke-keaktifan non
fisik. Karena kebutuhan dari fungsi otak dalam berfikir semakin meningkat.
Konfusius
lebih dari 2000 tahun silam telah menyatakan:
Yang saya dengar, saya lupa.
Yang saya lihat, saya ingat,
Yang saya kerjakan, saya pahami.
Tiga pernyataan diatas memberikan isyarat bahwa keaktifan
dalam belajar adalah perlu. Dengan kata lain belajar aktif sangat diperlukan
dalam proses pembelajaran setiap individu. Dan kata bijak itu dimodifikasi dan
dikembangkan oleh Melvin L Siberman dengan sebutan Paham Belajar Aktif.
Yang saya dengar, saya lupa.
Yang saya dengar dan lihat, saya sedikit ingat.
Yang saya dengar, lihat, dan pertanyakan atau
didiskusikan dengan orang lain, saya mulai memahami.
Dari yang dengar, lihat, bahas, dan terapkan, saya
dapatkan pengetahuan dan ketrampilan.
Yang saya ajarkan pada orang lain, saya kuasai.
Dari
pernyataan-pernyataan diatas sangatlah jelas tingkat keaktifan manusia dalam
belajar akan mempengaruhi perolehan hasil belajar yang didapat. Semakin aktif
semakin banyak yang diperoleh dalam kegiatan belajar.
Pembelajaran aktif adalah segala bentuk pembelajaran
yang memungkinkan mahasiswa berperan secara aktif dalam proses pembelajaran itu
sendiri baik dalam bentuk interaksi antar siswa maupun siswa dengan pengajar
dalam proses pembelajaran tersebut.
Menurut Bonwell (1995), pembelajaran aktif memiliki karakteristik-karakteristik
sebagai berikut:
·
Penekanan proses pembelajaran
bukan pada penyampaian informasi oleh pengajar melainkan pada pengembangan
ketrampilan pemikiran analitis dan kritis terhadap topik atau permasalahan yang
dibahas,
·
Mahasiswa tidak hanya
mendengarkan kuliah secara pasif tetapi mengerjakan sesuatu yang berkaitan
dengan materi kuliah,
·
Penekanan pada eksplorasi
nilai-nilai dan sikap-sikap berkenaan dengan materi kuliah,
·
Mahasiswa lebih banyak dituntut
untuk berpikir kritis, menganalisa dan melakukan evaluasi,
·
Umpan-balik yang lebih cepat
akan terjadi pada proses pembelajaran.
Di samping karakteristik tersebut di atas, secara umum
suatu proses pembelajaran aktif memungkinkan diperolehnya beberapa hal.
Pertama, interaksi yang timbul selama proses pembelajaran akan menimbulkan
positive interdependence dimana konsolidasi pengetahuan yang dipelajari hanya
dapat diperoleh secara bersama-sama melalui eksplorasi aktif dalam belajar.
Kedua, setiap individu harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan
pengajar harus dapat mendapatkan penilaian untuk setiap mahasiswa sehingga
terdapat individual accountability. Ketiga, proses pembelajaran aktif ini agar
dapat berjalan dengan efektif diperlukan tingkat kerjasama yang tinggi sehingga
akan memupuk social skills.
Dengan demikian kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan
sehingga penguasaan materi juga meningkat. Suatu studi yang dilakukan Thomas
(1972) menunjukkan bahwa setelah 10 menit kuliah, mahasiswa cenderung akan
kehilangan konsentrasinya untuk mendengar kuliah yang diberikan oleh pengajar
secara pasif. Hal ini tentu saja akan makin membuat pembelajaran tidak efektif
jika kuliah terus dilanjutkan tanpa upaya-upaya untuk memperbaikinya. Dengan
menggunakan cara-cara pembelajaran aktif hal tersebut dapat dihindari.
Pemindahan peran pada mahasiswa untuk aktif belajar dapat mengurangi kebosanan
ini bahkan bisa menimbulkan minat belajar yang besar pada mahasiswa. Pada
akhirnya hal ini akan membuat proses pembelajaran mencapai learning outcomes
yang diinginkan.
5.
Hasil Belajar Bahasa Inggris
Bahasa
memiliki peranan sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional
siswa dan merupakan kunci penentu menuju keberhasilan dalam mempelajari semua
bidang studi. Mengingat
fungsi bahasa yang bukan hanya sebagai suatu bidang kajian, sebuah kurikulum
bahasa untuk sekolah menengah sewajarnya mempersiapkan siswa untuk mencapai
kompetensi yang membuat siswa mampu merefleksi pengalamannya sendiri dan
pengalaman orang lain, mengungkapkan gagasan dan perasaan, dan memahami beragam
nuansa makna. Bahasa diharapkan membantu siswa mengenal dirinya, budayanya, dan
budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam
masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, membuat keputusan yang bertanggung
jawab pada tingkat pribadi dan sosial, menemukan serta menggunakan
kemampuan-kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Untuk
mencapai kompetensi berbahasa tersebut di atas, kurikulum ini berangkat dari
seperangkat rasional teoritis dan praktis yang mendasari semua keputusan
perumusan standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator dalam kurikulum
ini.
Terdapat
beberapa landasan teoritis yang berimplikasi praktis dan mendukung penyusunan
kurikulum ini. Teori tersebut diadopsi sebagai kerangka berpikir sistematis
dalam mengambil keputusan dalam berbagai perumusan. Landasan kerangka berpikir
tersebut meliputi model kompetensi bahasa, model bahasa, tingkat literasi yang
diharapkan dicapai oleh lulusan, dan perbedaan hakikat bahasa lisan dan tulis.
a. Kompetensi
Kurikulum
2004, yang dikembangkan menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan
selanjutnya menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menyebutkan bahwa kompetensi merupakan
pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara
konsinten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti
memiliki pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai dasar untuk melakukan
sesuatu. Sehingga pada mata pelajaran bahasa Inggris kompetensi dasar yang
dikuasi adalah kompetensi mendengar (listening),
kompetensi berbicara (speaking),
kompetensi membaca (reading) dan
kompetensi menulis (writing). Keempat
kompetensi dasar tersebut menjadi satu kompetensi berbahasa Inggris.
b. Model Kompetensi
Sejauh
ini terdapat sejumlah model kompetensi yang berhubungan dengan bidang bahasa
yang melihat kompetensi berbahasa dari berbagai perspektif. Dalam kurikulum ini
model kompetensi berbahasa yang digunakan adalah model yang dimotivasi oleh
pertimbangan-pertimbangan pedagogi bahasa yang telah berkembang atau berevolusi
sejak model Canale dan Swain kurang lebih sejak tiga puluh tahun yang lalu.
Salah
satu model terkini yang ada di dalam literatur pendidikan bahasa adalah yang
dikemukakan oleh Celce-Murcia, Dornyei dan Thurrell (1995) yang kompatibel
dengan pandangan teoritis bahwa bahasa adalah komunikasi, bukan sekedar
seperangkat aturan. Implikasinya adalah bahwa model kompetensi berbahasa yang
dirumuskan adalah model yang menyiapkan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa
untuk berpartisipasi dalam masyarakat pengguna bahasa. Model ini dirumuskan
sebagai Communicative Competence atau Kompetensi Komunikatif (KK) yang
direpresentasikan dalam Celce-Murcia et al. (1995:10) sebagai berikut :
Sociocultural
Competence
Discourse Competence
Linguistic
Actional
Competence
Competence
Strategic
Competence
Gambar 1: Model Kompetensi
Komunikatif (dari Celce-Murcia et al.)
Kompetensi utama yang dituju adalah kompetensi wacana (Discourse
Competence) yang didukung oleh kompetensi linguistik (Linguistic
Competence), Kompetensi sosiokultural (Sociocultural Competence) dan
Kompetensi Tindak Tutur (Actional Competence). Kompetensi writing
ada di dalam Actional Competence.
c. Teks
Pada dasarnya, kegiatan komunikasi verbal
adalah proses penciptaan teks, baik lisan maupun tertulis, yang terjadi karena
orang menafsirkan dan menanggapi teks dalam sebuah wacana. Maka teks adalah
produk dari konteks situasi dan konteks budaya. Misalnya, ketika seseorang
berbahasa Inggris, ia tidak hanya harus menggunakan kosa kata bahasa Inggris
melainkan juga menggunakan tata bahasanya agar ia dipahami oleh penutur
aslinya. Sering ada anggapan bahwa berbahasa secara komunikatif tidak perlu
terlalu memperhatikan tata bahasa. Akan tetapi, sering kurang disadari bahwa
kalalaian bertata bahasa menimbulkan banyak miskomunikasi yang barangkali tidak
berdampak serius dalam percakapan santai, tetapi bisa berdampak sangat serius
bahkan berakibat fatal dalam konteks formal atau akademis. Oleh karena itu,
target kegiatan writing dalam konteks
situasi dan kondisi yang beragam akan membantu siswa dalam menghasilkan teks
bentuk tulis.
d. Jenis Teks (Genre)
Yang dimaksud dengan Genre yaitu jenis-jenis teks. Kita mengenal istilah ini dari Kurikulum
2004 yang dikembangkan
menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan selanjutnya menjadi Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Ada 12 jenis teks yang dijelaskan dalam kurikulum tersebut antara lain: Recount,
Report, Discussion,
Explanation, Analytical Exposition, Hortatory Exposition, New Item, Anecdote, Narrative, Procedure, Descriptive dan Review. Namun untuk jenjang Sekolah
Menengah Pertama (SMP) kelas VII, VIII
dan IX kompetensi yang harus dicapai hanya 6 jenis teks yaitu Descriptive, Recount, Narrative, Anecdote,
Procedure dan Report.
B. Penelitian Yang Relevan
Adapun
penelitian yang relevan terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai
berikut dibawah ini:
- Penelitian oleh Ahmad Sopyan yang berjudul Pengaruh Tehnik Pembelajaran Kreatif dan Kemampuan Penalaran terhadap Hasil Belajar Siswa SMP yang menyimpulkan bahwa: (1) Teknik pembelajaran yang diterapkan dalam proses belajar mengajar IPA di SLTP N 9 Tasikmalaya pada penelitian ini, mempengaruhi hasil belajar yang berupa penguasaan keterampilan proses. Penerapan teknik pembelajaran kreatif-divergen memberikan hasil belajar IPA lebih tinggi, dibandingkan dengan penerapan teknik pembelajaran aktif-konvergen. (2) Terdapat interaksi antara teknik pembelajaran dan kemampuan penalaran siswa yang memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hasil belajar IPA berupa keterampilan proses. (3) Hasil analisis data menunjukkan bahwa, bagi siswa berpenalaran operasi formal, teknik pembelajaran kreatif-divergen menghasilkan perolehan belajar IPA yang sama dengan teknik pembelajaran aktif-konvergen. (4) Bagi siswa Bagi siswa berpenalaran operasi konkrit, teknik pembelajaran kreatif-divergen menghasilkan perolehan belajar yang lebih baik daripada teknik pembelajaran aktif.
(http://wijayalabs.wordpress.com/2008/01/10/penelitian-kuantitatif/
diakses tanggal 8 Juni 2010)
- Penelitian tesis oleh Martiyono program pasca sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2009 yang berjudul Pengaruh Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) terhadap Kepribadian Siswa SMP Kelas VII di Kabupaten Kebumen Ditijau dari Kecerdasan Emosional dan Spiritual menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap hasil belajar mata pelajaran PKn aspek kepribadian siswa SMP Kelas VII di Kabupaten Kebumen.
- Penelitian tesis Sri Sumaryati di Program Pascasarjana UNS tahun 2008 dengan judul Pengaruh Model Quantum Learning terhadap Prestasi Belajar Mata Kuliah Dasar-Dasar Akuntansi dengan Memperhatikan Motivasi Berprestasi dan Kecerdasan Emosional, yang menyimpulkan bahwa interaksi model pembelajaran, motivasi berprestasi dan kecerdasan emosi dapat mempengaruhi secara signifikan prestasi belajar mata kuliah Dasar-Dasar Akutansi.
C. Kerangka Berfikir
Adapun kerangka berfikir
yang ada adalah seperti terlihat pada diagram 1 pada Bab II dibawah ini:
Gambar 1: Diagram
kerangka berfikir dengan tiga variabel
Penggunaan
Pendekatan Pembelajaran kontekstual/ Contextual
Teaching and Learning Approach (Pembelajaran Kontekstual Approach) yang selanjutnya disebut pembelajaran kontekstual saja adalah merupakan variable bebas (X2), variabel stimulus, prediktor,
antecedent (independent variable)
atau variabel yang mempengaruhi sehingga variabel ini yang menyebabkan adanya
perubahan. Pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar bahasa
Inggris siswa karena dalam pembelajaran memiliki prinsip-prinsip yang meliputi
metode contructivism, inquiry,
questioning, modeling, learning community, authentic assessment dan reflecting. Constructivsm (Konstruktivisme)
dalam pendekatan pembelajaran
kontekstual dapat membangun pengetahuan manusia sedikit
demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui koteks yang terbatas (sempit) dan
tidak sekonyong-konnyong. Pengetahuan bukan seperangkat fakta-fakta, konsep,
atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dengan demikian
peningkatan terhadap hasil belajar dapat ditingkatkan. Karena metode inquiry
dalam pembelajaran kontekstual yang menemukan merupakan bagian inti dari
kegiatan pembelajaran maka pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa
diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari
menemukan sendiri. Dengan demikian metode inquiry dengan pendekatan kontekstual
tersebut dapat meningkatkan hasil belajar bahasa Inggris.
Pembelajaran
konvensional adalah merupakan variabel kontrol yang akan dibandingkan dengan pembelajaran kontekstual sebagai variabel bebas. Dalam hal ini
pembelajaran konvensional hanya mengunakan metode ceramah, tanya jawab dan
penugasan. Dalam interaksi pembelajarannya sangat terpusat pada guru (teacher’s centered oriented), sehingga
belum bisa mengoptimalkan pembelajara, belum bisa mengkatifkan siswa dan belum
dapat pula mengotimalkan hasil pembelaharan khususnya hasil belajar bahasa
Inggris
Keaktifan siswa sebagai variabel
bebas (X2) yang akan mempengaruhi terhadap penggunaan pembelajaran kontekstual terhadap hasil belajar dipengaruhi oleh tingkat
keaktifan siswa, semakin aktif semakin tinggi hasil belajar. Dengan kata lain
jika, suatu kelas dimanipulasi dengan penggunaan pembelajaran kontekstual dalam pembelajarannya maka hasil belajar maupun
proses belajar akan tinggi, dengan catatan tingkat keaktifan siswa juga tinggi.
Keaktifan yang diciptakan tidak hanya keaktifan fisik, keaktifan otak dan
keaktifan indera perespon lainnya jika ada stimulus. Dalam hal ini misalnya:
dengan gerakan badan, kepindahan badan seseorang, berfungsi indera seseorang
untuk merespon stimulus yang ada sehingga dapat mengaktifkan fungsi otak yang
dimiliki individu tersebut dengan keaktifan yang dioptimalkan akan meningkatkan
hasil belajar khususnya hasil belajar bahasa Inggris.
Pembelajaran kontekstual yang
didukung oleh tujuh prinsip pembelajaran kontekstual akan dapat meningkatkan keaktifan
siswa, dengan keaktifan yang diciptakan itu, akan mengoptimalkan proses pembelajaran,
dengan pembelajaran yang optimal akan meningkatkan hasil belajar khususnya
bahasa Inggris.
Hasil Belajar Bahasa Inggris
adalah variable terikat (Y), variabel output, kriteria, konsekuen (dependent variable) atau variabel yang
dipengaruhi. Variable ini mencakup hasil pembelajaran bahasa Inggris yang sudah
mencakup hasil pembelajaran membaca (reading),menulis
(writing), berbicara (speaking) dan mendengar (listening).
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka
berfikir diatas dapat ditetapkan hipotesi sebagai berikut:
1. Ada pengaruh yang signifikan penggunaan pembelajaran
kontekstual dibandingkan metode
konvensional terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa Sekolah Menengah
Pertama Negeri di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen?
2. Ada pengaruh yang signifikan keaktifan
siswa yang tinggi terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa Sekolah Menengah
Pertama Negeri di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen?
3. Ada interaksi yang signifikan penggunaan pembelajaran
kontekstual dan aktifitas siswa terhadap hasil belajar bahasa Inggris siswa Sekolah
Menengah Pertama Negeri di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen?
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Setting Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat
penelitian dilakukan pada sekolah standar nasional di kecamatan Gombong
Kabupaten Kebumen. Untuk kelas pembelajaran konvensional yaitu kelas 9b Sekolah
Menegah Pertama Negeri 3 Gombong Kabupaten Kebumen dan untuk kelas eksperimen
adalah siswa kelas 9a Sekolah Menegah Pertama Negeri 2 Gombong Kabupaten
Kebumen.
2. Waktu Penelitian
Waktu
penelitian direncanakan pada semester 2 tahun pelajaran 2010/2011 selama bulan
Januari sampai dengan bulan Juni 2011. Kegiatan meliputi kegiatan persiapan,
pelaksanaan ekperimen, dan pasca eksperimen. Waktudan kegiatan secara
terperinci seperti pada tabel 1 pada bab III di bawah ini:
Tabel 1
NO
|
KEGIATAN
|
TAHUN 2011
|
KET
|
|||||
Jn
|
Fb
|
Mr
|
Ap
|
Me
|
Ju
|
|||
1
|
Persiapan
|
|||||||
a. Observasi awal di lokasi penelitian
|
Y
|
|||||||
b. Penyusunan proporsal penelitian
|
Y
|
Y
|
Y
|
|||||
c. Penyusunan RPP
|
Y
|
Y
|
||||||
d. Penyusunan instrumen penelitian
|
Y
|
Y
|
||||||
e. Ijin penelitian
|
Y
|
|||||||
f. Uji coba instrumen penelitian
|
Y
|
|||||||
g. Analisis validitas dan reliaabilitas
instrumen
|
Y
|
|||||||
2
|
Pelaksanaan Eksperimen
|
|||||||
a. Pre-tes
|
Y
|
|||||||
b. Kegiatan eksperimen pada kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol dengan berpedoman pada RPP
|
Y
|
Y
|
||||||
c. Post-tes
|
Y
|
|||||||
3
|
Pasca Eksperimen
|
|||||||
a. Analisis data penelitian
|
Y
|
|||||||
b. Penulisan laporan penelitian
|
Y
|
B. Desain penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian kuantitatif dalam bentuk penelitian eksperimen. Penelitian
eksperimen adalah ”penelitian yang variabel akan diteliti (variabel terikat)
kehadirannya sengaja ditimbulkan dengan memanipulasi menggunakan perlakuan” (Purwanto, 2008: 180). Adapun desain
penelitiannya dapat digambarkan dalam diagram 1 pada bab III di bawah ini:
Gambar 1: Diagram
desain penelitian
Dari
gambar 1 pada bab III di atas penelitian melibatkan dua variabel bebas dan satu
variabel terikat: Uraian ketiga variabel diatas adalah sebagai berikut:
1. Variabel pertama penelitian ini sebagai
variabel terikat adalah hasil belajar bahasa Inggris. Hasil belajar bahasa
Inggris merupakan data ordinal dari rekapitulasi hasil pre-tes dan post-tes.
2. Variabel kedua penelitian ini adalah penggunaan
pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai variabel
bebas. Penggunaan pembelajaran kontekstual yang diimplementasikan pada kelas 9
SMP merupakan model pembelajaran yang dimanipulasi. Rancangan pembelajaran
tersusun dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
3. Variabel ketiga penelitian ini adalah keaktifan
yang mempengaruhi hasil belajar bahasa Inggris hal ini dapat dilihat dari
interaksi dari pembelajaran kontekstual yang dimplementasikan dalam
pembelajaran bahasa Inggris. Pedoman keaktifan siswa tinggi dan rendah dapat
dilihat dari pedoman skoring dari angket keaktifan yang berupa data ordinal.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi
yang terkait dengan penelitian tersebut adalah semua Sekolah Menengah Pertama
Negeri di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen dalam pembelajaran bahasa
Inggris. Ada empat Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen antara
lain: Sekolah Menegah Pertama Negeri 1
Gombong, Sekolah Menegah Pertama Negeri 1 Gombong, Sekolah Menegah Pertama
Negeri 1 Gombong dan Sekolah Menegah Pertama Negeri 1 Gombong.
2. Sampel
Teknik random sampling dilakukan dengan tujuan untuk menghomogenkan data populasi, Dengan teknik random sampling
yang digunakan untuk mendapatkan 30-40
responden tersebut minimal akan terkait dengan empat hal kerena populasi tidak
homogen. Pertama melilih sekolah yang akan digunakan sampel, kerena ada 4
kategori sekolah tetapi masing-masing jumlahnya tidak proporsional maka
peneliti menggunakan disproporsional
stratified random sampling. Dari teknik ini peneliti akan menentukan dua
kategori sekolah yang akan digunakan sebagai sekolah sampel. Dalam hal ini
diambil 1 sekolah RSSN dan 1 SSN. Kedua,
karena wilayahnya mencakup sekabupaten peneliti perlu melanjutkan teknik random
sampling untuk efisiensi dengan menggunakan cluster random sampling (area
random sampling) yaitu untuk menentukan wilayah yang memiliki SSN atau RSSN.
Dengan teknik tersebut peneliti mendapatkan Kecamatan Gombong sebagai tempat
penelitian dan sekolah yang digunakan untuk tempat penelitian dengan teknik
random sampling yaitu Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Gombong sebagai sekolah
kontrol dan Sekolah Menegah Pertama Negeri 2 Gombong sebagai sekolah ekperimen.
Ketiga menentukan kelas sampel, dengan teknik random sampling peneliti
mendapatkan siswa kelas 9a Sekolah Menegah Pertama Negeri 2 Gombong sebagai
kelas ekperimen (untuk pembelajaran pembelajaran kontekstual
) dan siswa kelas 9b Sekolah Menengah
Pertama Negeri 3 Gombong sebagai kelas
kontrol (untuk pembelajaran konvensional.
D. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian
1. Instrumen penelitian
Adapun
instrumen yang disiapkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
- Instrumen untuk memperoleh Hasil Belajar Bahasa Inggris yaitu berupa soal-soal atau tes bahasa Inggris sesuai dengan tingat kelas yang diteliti. Intrumen tes tersebut digunakan untuk kelas konvensional maupun kelas.
- Instrumen untuk memperoleh tingkat keaktifan siswa adalah dengan angket
- Instumen untuk mendapatkan informasi tentang metode pembelajaran yaitu dengan angket.
2. Teknik pengumpulan data
Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan tes pada kelas yang
pembelajarannya dengan pembelajaran
kontekstual dan kelas yang pembelajarannya dengan cara
konvensional. Setelah itu hasilnya dikumpulkan sebagai data hasil belajar. Data
keaktifan siswa didapat diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh siswa pada
kelas sampel yang pembelajarannya dengan pembelajaran kontekstual.
Sedangkan keberlangsungan kelas dengan pembelajaran pembelajaran kontekstual. diberikan pada guru pengajar kelas sampel pada
kelas eksperimen. Data-data diperoleh dari angket yang diisi oleh kelompok
sampel. Data-data dikumpulkan, diberi skor, di jumlah dan kemudian dianalisis.
Adapun angket yang akan dikembangkan adalah seperti angket keaktifan di bawah
ini:
Angket Keaktifan Siswa
Petunjuk :
1.
Berikut ini akan disajikan beberapa
pertanyaan mengenai keaktifan siswa dalam pembelajaran bahasa Inggris. Anda
diharapkan menyatakan sikap anda terhadap pernyataan-pernyataan tersebut dengan
memilih :
SS = bila anda sangat setuju dengan pernyataan
tersebut.
S = bila anda setuju dengan pernyataan
tersebut.
R = bila
anda ragu-ragu dengan pernyataan tersebut.
TS = bila anda tidak setuju dengan pernyataan
tersebut.
STS = bila anda sangat tidak setuju dengan
pernyataan tersebut.
2.
Berikan tanda check (v) pada kolom-kolom
di sebelah kanan pernyataan tersebut sesuai dengan sikap anda dengan
sejujur-jujurnya.
I.
Keaktifan Siswa dalam Pembelajaran Bahasa Inggris (KSPBI)
No.
|
P e r n y a t a a n
|
SS
|
S
|
R
|
TS
|
STS
|
1
|
Saya melakukan
kegiatan bertanya hal-hal yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
2
|
Saya melakukan
kegiatan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa
Inggris
|
|||||
3
|
Saya melakukan
kegiatan diskusi kelompok dalam pembelajaran bahasa Inggris di kelas
|
|||||
4
|
Saya melakukan
kegiatan presentasi hasil kerja kelompok dalam pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
5
|
Saya melakukan
aktifitas kerja otak dan aktifitas fisik dalam pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
6
|
Saya hanya
berdiam diri dalam pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
7
|
Saya melakukan tidak
memberi respon terhadap stimulus dalam pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
8
|
Saya hanya bekerja
secara individual dalam pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
Saya tidak
mempresentasikan hasil kerja saya dalam pembelajaran bahasa Inggris
|
||||||
10
|
Saya hanya melakukan
aktifitas menyimak saja dalam pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
Jumlah Skor
|
||||||
Nilai
|
Angket Kektifan Guru dalam
Pembelajaran Kontekstual
II. Aktifitas Pembelajaran
Kontekstual
No.
|
P e r n y a t a a n
|
SS
|
S
|
R
|
TS
|
STS
|
1
|
Guru membangun motivasi siswa dalam pembelajaran
bahasa Inggris
|
|||||
2
|
Guru memberi
pertanyaan-pertanyaan dalam pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
3
|
Guru memberi respon
terhadap jawaban-jawaban siswa
|
|||||
4
|
Guru membagi dalam
kelompok dalam pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
5
|
Guru melakukan
penilaian secara autentik (authentic
assessment)
|
|||||
6
|
Guru melakukan
pembelajaran bahasa Inggris dengan memfasilitasi siswa belajar dengan
melakukan (inquiry)
|
|||||
7
|
Guru memfasilitasi
agar siswa dapat menkonstruksi pengetahuan yang dipelajari dalam pembelajaran
bahasa Inggris.
|
|||||
8
|
Guru memberikan
pemodelan dalam pembelajaran bahasa Inggris.
|
|||||
9
|
Guru merefleksi
kegiatan pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
10
|
Guru melakukan
aktifitas semua alat indera dan fisik dalam pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
Jumlah
Skor
|
||||||
Nilai
|
Angket Keaktifan Guru
dalam Pembelajaran Konvensional
III. Aktifitas
Pembelajaran Konvensional
No.
|
P e r n y a t a a n
|
SS
|
S
|
R
|
TS
|
STS
|
1
|
Guru melakukan kegiatan ceramah dalam
pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
2
|
Guru memberi
pertanyaan-pertanyaan dalam pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
3
|
Guru memberi respon
terhadap jawaban-jawaban siswa
|
|||||
4
|
Guru tidak membagi dalam kelompok dalam
pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
5
|
Guru tidak melakukan
penilaian secara autentik (authentic
assessment)
|
|||||
6
|
Guru tidak melakukan
pembelajaran bahasa Inggris dengan melakukan (inquiry)
|
|||||
7
|
Guru tidak menkonstruksi pengetahuan yang
dipelajari dalam pembelajaran bahasa Inggris.
|
|||||
8
|
Guru tidak memberikan
pemodelan dalam pembelajaran bahasa Inggris.
|
|||||
9
|
Guru tidak merefleksi
kegiatan pembelajaran bahasa Inggris
|
|||||
10
|
Guru melakukan
aktifitas berbicara dengan minim gerakan fisik dalam pembelajaran bahasa
Inggris
|
|||||
Jumlah
Skor
|
||||||
Nilai
|
E. Uji Validitas dan Reliabilitas Angket
Untuk
memperoleh angket yang valid dan reliabel dilakukan uji coba angket, kemudian
hasilnya diuji validitas dan reliabilitas
F. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kuantitatif, teknik analisis data yang digunakan
yaitu diarahkan untuk menjawab rumusan masalah atau untuk menguji hipotesis
yang dirumuskan dalam proposal. Adapun analisisnya antara lain sebagai berikut:
- Uji kesetaraan , Uji t antara kelas eksperimen dan pembelajaran sebelum adanya perlakuan.
- Uji Prasarat analisis
a. Uji Normalitas
b. Uji Homogenitas
c. Uji hipotesis mengggunakan anava 2 jalur
Adapun rancangan analisis anava dua jalur seperti
pada tabel berikut di bawah ini:
Metode Pembelajaran
|
Keaktifan Siswa
|
|
Tinggi (B1)
|
Rendah (B2)
|
|
Pemb. Kontekstual (A1)
|
A1 B1
|
A1 B2
|
Pemb. Konvensional (A2)
|
A2 B1
|
A2 B2
|
Keterangan:
- A1 B1 : Kelompok siswa dengan keaktifan tinggi diberi perlakuan pembelajaran kontekstual.
- A2 B1 : Kelompok siswa dengan keaktifan tinggi diberi perlakuan pembelajaran konvensional
- A1 B2 : Kelompok siswa dengan keaktifan rendah diberi perlakuan pembelajaran kontekstual
- A2 B2 : Kelompok siswa dengan keaktifan rendah diberi perlakuan pembelajaran konvensional
DAFTAR
PUSTAKA
Agus Suprijono. 2010. Cooperative Learning Teori dan
Aplikasi Paikem. Yogyakarta. Penerbit: Pustaka Pelajar
Ary,Donald, dkk. Introduction to Resarch in
Education. Surabaya. Usaha Nasional (Karya terjemahan Arif Furchan).
David W.Johnson, dkk. 2010. Collaborative
Learning Strategi Pembelajaran untuk Sukses Bersama. Bandung. Penerbit:
Nusa Media.
Depdiknas, 2002. Pendekatan Kontekstual
(Cotextual Teaching and Learning (PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL)
Elaine B. Johson,2010. PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL Contextual Teaching and Learning.
Bandung. Penerbit: Kaifa.
Masidjo,1995, Penilaian Pencapaian Hasil
Belajar Siswa di Sekolah. Yogyakarta.Penerbit: Kanisius.
Melvin L. Silbermen, 2010. Active
Learning. Bandung. Penerbit: Nusamedia dan Penerbit: Nuansa.
Mico Pardosi. 2004. Belajar Sendiri Internet.
Surabaya. Penerbit: Indah.
Nasution,S. 2008. Metode Reearch. Jakarta.
PT Bumi Aksara
Robert L. Slavin.2010. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Bandung.
Penerbit: Nusa Media
Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Pendidikan
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung. Penerbit
Alfabeta.
Sugiyono, 2007. Statistik untuk Penelitian.
Bandung. Penerbit Alfabeta.
Suharsismi Arikunto,2009. Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta. PT Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar