IMPLEMENTASI KURIKULUM 2004
DAN
CONTEXTUAL TEACHING AND
LEARNING APPROACH (CTL)
MELALUI METODE ‘BANGMOGI’
Oleh:
Bambang Purnomo
KATA PENGANTAR
Rasa syukur saya panjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan rahmat dan karunia nikmat-Nya atas
tersusunnya makalah dalam bidang pendidikan. Makalah ini disusun oleh karena suatu
kebutuhan dalam rangka meningkatkan pencapaian proses pembelajaran yang diharapkan
semakin bermutu dalam proses maupun hasil pembelajaran itu sendiri.
Makalah ini menyajikan metode
pembelajaran dalam rangka untuk implementasi Kurikulum 2004 dan Pendekatan
Pembelajaran Kontekstual/ Contextual Teaching and Learning (CTL). Metode tersebut diatas diberi nama metode ‘BangMoGI’.
Metode ini dapat digunakan untuk semua mata pelajaran. Dalam pembelajaran
bahasa metode ini memerlukan 2 siklus yaitu: siklus lisan dan siklus tulis.
Sedangkan untuk pembelajaran non-bahasa metode ini tidak menggunakan siklus.
Dan setiap siklus pembelajaran mengalami 4 langkah pembelajaran.
Prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual masuk dalam tahapan-tahapan
pembelajaran tersebut.
Saya menyadari masih ada beberapa hal yang perlu ditambahkan untuk
memperbaiki makalah tersebut. Oleh sebab itu saran-saran dan kritik sangat
diharapkan demi penyempurnaan makalah ini. Terimakasih dan semoga makalah ini
bermanfaat.
BAB I
PENDAHULUAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu
menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan
efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapai tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan local,
nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Oleh karena itu
proses dan mutu pembelajaran perlu ditingkatkan agar pembelajaran dapat
dilaksanakan secara aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sehingga anak
didik dapat menggembangkan potensi diri dan dapat memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kurikulum 2004 mengamanatkan bahwa
setiap lulusan harus telah memiliki kompetensi yang diprasaratkan dalam standar
kompetensi maupun kompetensi dasar yang sudah ditetapkan dalam kurikulum
tersebut. Model kompetensi ini dirumuskan sebagai Kompetensi Berkomunikasi yang
mempunyai tujuan akhir pada pencapaian kompetensi Wacana(discourse competence) Kompetensi wacana memprasaratkan bahwa
peserta didik dalam menggunakan bahasa dalam komonikasi harus selalu secara
tepat mempertimbangkang konteks budaya dan konteks situasi. Kompetensi wacana
tidak mungkin tercapai tanpa adanya kompetensi kebahasaan yang lain yang
meliputi kompetensi tindak bahasa dan retorika (yang tercakup dalam actional competence), kompetensi
linguistic (linguistic competence),
kompetensi sosiokultural (sociocultural
competence) dan kompetensi strategis (strategic
competence) Selain kelima kompetensi tersebut, kurikulum 2004 juga melihat
sikap sebagai hasil belajar. Oleh karena itu untuk mencapai hal tersebut perlu
proses pembelajaran yang berkwalitas. Misalnya kreatifitas dan inovatif
pembelajaran guru perlu ditingkatkan, hasil pembelajaran bahasa Inggris masih perlu
ditingkatkan baik secara kwantitas
maupun kwalitasnya,
keaktifan dan kreatifitas siswa perlu ditingkatkan, degradasi moral dalam
masyarakat khususnya siswa-siswa usia
Sekolah Menengah Pertama kususnya dan usia remaja pada umumnya perlu dicegah dan
ditangani dengan arif dan bijaksana, pemilihan dan atau pembuatan bahan ajar
yang sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai dan sekaligus dapat
mengembangkan budaya nasional dan mengangkat potensi yang dimiliki oleh
daerah-daerah di Indonesia.
Keberhasilan atau kegagalan suatu
pendidikan pada dasarnya dapat dilihat dari perubahan sikap dan tingkah laku
atau dari prestasi hasil pembelajaran yang dicapai oleh orang yang telah
mendapat proses pembelajaran . Tetapi
tidak semua kegiatan pendidikan selalu mendapatkan hasil yang optimal,
kadang-kala juga menemui kegagalan.
Mata
pelajaran Bahasa Inggris mempunyai karakteristik yang berbeda dengan mata
pelajaran lain untuk itu agar dapat mengajar dengan baik, guru memerlukan
informasi tentang karakteristik mata pelajaran Bahasa Inngris. Perbedaan ini
terletak pada fungsi bahasa sebagi alat komunikasi. Hal ini mengidikasikan
bahwa belajar bahasa Inggris bukan hanya belajar kosakata dan tatabahasa dalam
arti pengetahuannya, tetapi harus berupaya menggunakan atau mengaplikasikan
pengetahuan tersebut dalam kegiatan komunikasi. Seorang siswa belum dapat
dikatakan menguasai Bahasa Inggris jika dia belum dapat menggunakan Bahasa
Inggris untuk keperluan komunikasi.
Mengajar
dan mendidik adalah merupakan dua hal yang harus dilakukan oleh seorang
pendidik dalam hal ini guru dan belajar bukan hal yang sederhana tetapi
merupakan proses yang sangat komplek, sehingga banyak factor yang mempengaruhi
terhadap proses maupun hasil dari pemebelajharan tersebut. “Learning a
second language is long and complex undertaking. … Many variable are involved
in the acquisition process” (Brown, 2000: 1).
Dalam
pembicaraan yang lebih rinci, pembelajaran bahasa kedua baik dalam proses
maupun hasil dipengaruhi beberapa faktor. Menurut Jokobovits, ada tiga faktor
utama dalam pembelajaran bahasa asing yang perlu diperhatikan guru untuk
menjadi guru efktif. Tiga faktor tersebut adalah faktor siswa, instruksional
dan sosiokultural yang masing-masing dibagi menjadi beberapa sub. Faktor siswa
mencakup kemampuan memahami instruksi, bakat, ketekunan, strategi belajar dan
konsekuensinya. Faktor instruksional meliputi faktor kualitas instruksi,
kesempatan belajar, efek transfer dan criteria evaluasi. Sosiokultural dibedakan
menjadi keajekan bahasa, komposisi linguistic,
bikulturalisme dan konsekuensinya (Jakobovits, 1970: 104).
Menurut
Squires dkk, prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh dua hal yaitu pertama
sikap siswa yang meliputi peran serta, cakupan dan kesuksesan. Kedua yaitu
sikap guru yang meliputi perencanaan(planning),
pengelolaan (management), dan pembelajaran(instruction) (Squires dkk, 1981 :
4).
Untuk
meningkatkan prestasi, kualitas pembelajaran merupakan faktor yang sangat
penting karena proses pembelajaran merupakan proses pendidikan yang
mempengaruhi dan mensyaratkan input pendidikan ke dalam proses pendidikan yang
pada akhirnya menghasilkan output yang baik. Hal yang sama diungkapkan oleh
slamet PH, bahwa proses pembelajaran adalah proses pemberdayaan siswa yang
mencakup perilaku gugu dan siswa dalam mengelola input pembelajaran yang meliputi
tujuan, alat evaluasi, mater, pengajar, siswa, metode, media, waktu dan
lingkungan yang pada akhirnya menghasilkan output berupa hasil belajar (peningkatan
daya pikir,daya kalbu dan daya fisik) (Slamet, 2000: 326).
Bahasa
memiliki peranan sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional
siswa dan merupakan kunci penentu menuju keberhasilan dalam mempelajari semua
bidang studi. Mengingat fungsi bahasa yang bukan hanya sebagai suatu bidang
kajian, sebuah kurikulum bahasa untuk sekolah menengah sewajarnya mempersiapkan
siswa untuk mencapai kompetensi yang membuat siswa mampu merefleksi
pengalamannya sendiri dan pengalaman orang lain, mengungkapkan gagasan dan
perasaan, dan memahami beragam nuansa makna. Bahasa diharapkan membantu siswa mengenal
dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan,
berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, membuat
keputusan yang bertanggung jawab pada tingkat pribadi dan sosial, menemukan
serta menggunakan kemampuan-kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam
dirinya.
Untuk
mencapai kompetensi berbahasa tersebut di atas, kurikulum ini berangkat dari
seperangkat rasional teoritis dan praktis yang mendasari semua keputusan
perumusan standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator dalam kurikulum
ini.
Terdapat
beberapa landasan teoritis yang berimplikasi praktis dan mendukung penyusunan
kurikulum ini. Teori tersebut diadopsi sebagai kerangka berpikir sistematis
dalam mengambil keputusan dalam berbagai perumusan. Landasan kerangka berpikir
tersebut meliputi model kompetensi bahasa, model bahasa, tingkat literasi yang
diharapkan dicapai oleh lulusan, dan perbedaan hakikat bahasa lisan dan tulis.
A. Model Kompetensi
Sejauh ini terdapat sejumlah
model kompetensi yang berhubungan dengan bidang bahasa yang melihat kompetensi
berbahasa dari berbagai perspektif. Dalam kurikulum ini model kompetensi
berbahasa yang digunakan adalah model yang dimotivasi oleh
pertimbangan-pertimbangan pedagogi bahasa yang telah berkembang atau berevolusi
sejak model Canale dan Swain kurang lebih sejak tiga puluh tahun yang lalu.
Salah satu model terkini yang
ada di dalam literatur pendidikan bahasa adalah yang dikemukakan oleh
Celce-Murcia, Dornyei dan Thurrell (1995) yang kompatibel dengan pandangan
teoritis bahwa bahasa adalah komunikasi, bukan sekedar seperangkat aturan.
Implikasinya adalah bahwa model kompetensi erbahasa yang dirumuskan adalah
model yang menyiapkan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa untuk
berpartisipasi dalam masyarakat pengguna bahasa. Model ini dirumuskan sebagai Communicative
Competence atau Kompetensi Komunikatif (KK) yang direpresentasikan dalam
Celce-Murcia et al. (1995:10) sebagai berikut :



Sociocultural




![]() |
![]() |
||
Linguistic Actional
Competence Competence
Strategic
Competence
Gambar
1: Model Kompetensi Komunikatif (dari Celce-Murcia et al.
Representasi skematik di
Gambar 1 menunjukkan bahwa kompetensi utama yang dituju oleh pendidikan bahasa adalah Discourse
Competence atau omunikasi Wacana (KW). Artinya, jika seseorang
berkomunikasi baik secara isan maupun
tertulis orang tersebut terlibat dalam suatu wacana. Yang dimaksud dengan
wacana ialah sebuah peristiwa komunikasi yang dipengaruhi oleh topik yang
dikomunikasikan, hubungan interpersonal pihak yang terlibat dalam komunikasi
dan jalur komunikasi yang digunakan dalam satu konteks budaya. Makna apapun
yang ia peroleh dan ia ciptakan dalam komunikasi selalu terkait dengan konteks
budaya dan konteks situasi yang melingkupinya. Berpartisipasi dalam percakapan,
membaca dan menulis secara otomatis mengaktifkan kompetensi wacana yang berarti
menggunakan seperangkat atrategi atau prosedur untuk merealisasi nilai-nilai
yang terdapat dalam unsur-unsur bahasa, isyarat-isyarat pragmatiknya dalam
menafsirkan dan mengungkapkan makna (McCarthy dan Carter 2001:88).
Kompetensi wacana hanya dapat
diperoleh jika siswa memperoleh kompetensi pendukungnya seperti Kompetensi
Linguistik (Linguistic Competence), Kompetensi Tindak Tutur untuk bahasa
lisan atau Kompetensi Retorika untuk bahasa tulis (keduanya tercakup dalam Actional
Competence), Kompetensi Sosiokultural (Sociocultural Competence), dan
Kompetensi Strategis (Strategic Competence).
Implikasi pedagogisnya adalah
bahwa perumusan kompetensi dan indikator-indikator bahasa Inggris perlu
didasarkan kepada komponen-komponen tersebut di atas untuk menjamin bahwa
kegiatan pendidikan yang dilakukan mengarah kepada tercapainya satu kompetensi
utama, yakni kompetensi wacana. Oleh karenanya, indikator-indikator dalam
kurikulum ini dirumuskan berdasarkan kelima komponen dalam model kompetensi
ini. Selanjutnya dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran setiap indikator
dijabarkan berdasarkan daftar sub-kompetensi dan pertimbangan-pertimbangan lain
yang relevan.
Penting untuk dicatat bahwa
seperangkat komponen kompetensi yang berupa daftar tersebut bukan representasi
kompetensi wacana karena kompetensi wacana lebih mengacu kepada strategi
atau prosedur untuk ‘memobilisasi’ seluruh declarative knowledge dalam
konteks komunikasi nyata untuk menciptakan makna yang sesuai konteks
komunikasinya. Kemampuan ini lazim disebut procedural knowledge. Ini
berarti bahwa pengajaran bahasa tidak dapat dipecah-pecah per kelompok
kompetensi (linguistic, actional, sociocultural, strategic, discourse)
melainkan diarahkan kepada pemerolehan kompetensi wacana dengan melihat kepada
kelompok kompetensi sebagai alat monitor yang membantu penyadaran akan adanya
komponen tersebut yang dapat dijabarkan dalam seperangkat indikator.
Selain kelima komponen
tersebut, aspek sikap juga dirumuskan sebagai hasil belajar yang dapat diamati
berdasarkan apa yang dilakukan siswa selama menjalani proses pembelajaran.
Perumusan ini diharapkan dapat menjadi pendorong bagi pengguna kurikulum ini
untuk dapat mengeksplisitkan harapan-harapannya terhadap siswa yang pada
gilirannya akan membuat pelajaran bahasa Inggris menyenangkan.
B. Model Bahasa
Selain model kompetensi,
sebuah model bahasa yang memandang bahasa sebagai komunikasi atau sebagai
sistem semiotik sosial (Halliday 1978) juga digunakan dalam kurikulum ini.
Menurut pandangan ini, ketika seseorang berpikir tentang bahasa, minimal ada
tiga aspek penting yang harus diperhitungkan, yakni konteks, teks, dan
sistem bahasa.
Hubungan konteks, teks dapat digambarkan
sebagai berikut :

CULTURE
Genre
(Purpose)

SITUATION
Who is involved?
(Tenor)
Subject matter Channel



|
Gambar 2 : The Model of language (Derewianka, 1990)
1.
Konteks
Bahasa terjadi dan hidup
dalam konteks yang dapat berupa apa saja yang mempengaruhi, menentukan dan
terkait dengan pilihan-pilihan bahasa yang dibuat seseorang ketika menciptakan
dan menafsirkan teks.
Dalam konteks apapun, orang
menggunakan bahasa untuk melakukan tiga fungsi utama:
a) Fungsi gagasan (ideational function), yakni fungsi bahasa untuk mengemukakan atau mengkonstruksi gagasan atau informasi.
b) Fungsi interpersonal (interpersonal function), yakni fungsi bahasa untuk berinteraksi dengan sesama manusia yang mengungkapkan tindak tutur yang dilakukan, sikap, perasaan, ds
c) Fungsi tekstual (textual function), yakni fungsi yang mengatur bagaimana teks atau bahasa yang diciptakan ditata sehingga tercapai kohesi dan koherensinya, sehingga mudah dipahami orang yang mendengar atau membaca
Implikasi pedagogisnya adalah bahwa sebuah pengembangan program bahasa sewajarnya mengarahkan siswa untuk mampu mengungkapkan nuansa-nuansa makna ideasional, makna interpersonal, dan makna tekstual. Dalam kurikulum ini, nuansa makna tercermin dalam rumusan kompetensi dasar tiap ketrampilan berbahasa dan indikator-indikatornya. Makna gagasan, misalnya, akan dominan mewarnai bahasa tulis, makna interpersonal akan dominan mewarnai bahasa lisan, dan makna tekstual mewarnai kedua ‘modes’ bahasa tersebut dalam hal penataan informasi yang terkandung di dalamnya.
Dalam model ini terdapat dua macam
konteks: konteks budaya (context of culture) dan konteks situasi (context
of situation). Sebuah konteks budaya ‘melahirkan’ banyak macam teks yang
dikenal dan diterima oleh anggota masyarakatnya sebab susunan dan bahasa yang
digunakan menunjang tujuan komunikatif teks tersebut. Misalnya, orang mengenal
dan menggunakan teks ‘resep masakan’ sebagaimana yang ditemukan di buku-buku
resep. Maka ketika orang mendengar kata ‘resep’ ia akan membayangkan susunan teks
dan bahasa yang lazim digunakan dalam budayanya. Begitu juga jika ia mendengar kata ‘cerita pendek’ yang
berbeda dari resep. Jenis teks ini disebut genre. Singkatnya, sebuah
konteks budaya melahirkan banyak genre.
Ketika
seseorang mempelajari bahasa asing, ia terlibat dalam penciptaan dan penafsiran
berbagai jenis teks yang lahir dari budaya bahasa asing tersebut yang tidak
selalu sama dengan jenis teks yang lahir dalam budaya yang dimilikinya. Oleh
karenanya, jenis-jenis teks yang diwarnai oleh berbagai tujuan komunikatif,
penataan bagian-bagian teks, dan fitur-fitur linguistik tertentu selayaknya
menjadi perhatian setiap program pendidikan bahasa. Ini dimaksudkan agar siswa
bukan hanya menggunakan kalimat bahasa Inggris, melainkan juga menata teksnya dengan
cara yang lazim digunakan oleh penutur aslinya. Konsep genre ini mewarnai jenis
teks yang disarankan oleh kurikulum ini.
Konteks
situasi juga mendapatkan perhatian dalam kurikulum ini. Terdapat tiga faktor
konteks situasi yang mempengaruhi pilihan bahasa seseorang: topik yang
dibicarakan (field), hubungan interpersonal antara pengguna bahasa (tenor)
dan jalur komunikasi (lisan atau tulis) yang digunakan (mode). Ketiga
faktor ini menentukan apakah seseorang memilih berbahasa formal/informal,
akrab/tidak akrab dsb. Kurikulum ini juga diwarnai oleh konsep tersebut agar
siswa mampu berkomunikasi sesuai dengan konteks yang dihadapinya.
2. Teks
Pada
dasarnya, kegiatan komunikasi verbal adalah proses penciptaan teks, baik lisan
maupun tertulis, yang terjadi karena orang menafsirkan dan menanggapi teks
dalam sebuah wacana. Maka
teks adalah produk dari konteks situasi dan konteks budaya. Misalnya, ketika
seseorang berbahasa Inggris, ia tidak hanya harus menggunakan kosa kata bahasa
Inggris melainkan juga menggunakan tata bahasanya agar ia dipahami oleh penutur
aslinya. Sering ada anggapan bahwa berbahasa secara komunikatif tidak perlu
terlalu memperhatikan tata bahasa. Akan tetapi, sering kurang disadari bahwa
kalalaian bertata bahasa menimbulkan banyak miskomunikasi yang barangkali tidak
berdampak serius dalam percakapan santai, tetapi bias berdampak sangat serius
bahkan berakibat fatal dalam konteks formal atau akademis.
B. Model Pembelajaran
The Figure 3 shows that the classroom programming is based four stages in
a Teaching-Learning Cycle (adapted
from Callaghan and Rothery, 1998) Which are aimed at providing support for
learners as they move from spoken to written texts. These stages are identified
involving the selection and sequencing of classroom tasks and activities and
are related the starting points of topic or type of text. The four steps in the
Teaching –Learning Cycle are:
Step
One : Building the context or
field of the topic or text-type
Step
Two : Modeling the genre under
focus
Step
Three : Joint Construction of the
genre
Step
Four : Independent Construction of
the genre

Gambar 3 : The Teaching Learning Cycle. Source: Burns and Joyce: 1991 (Adapted
from Collaghan and Rothery 1988)
Dikatakan bahwa model pembelajaran
dilakukan dalam dua siklus pembelajaran yakni, siklus lisan dan suklus tulis
dan masing-masing siklus mengalami empat tahapan pembelajaran.
BAB
II
METODE
‘BANGMOGI’ UNTUK PEMBELAJARAN BAHASA
Metode
BangMoGI ini merupakan alternatif
lain model pembelajaran yang dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran
untuk mengimplemantasikan Kurikulum 2004 dan Pendekatan Pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL approach). Adapun konsepnya adalah
sebagai berikut:



![]() |
DISCOURSE
COMPETENCE
Diagram diatas memiliki
konsep bahwa teori Pembelajaran Kontekstual yang sudah kita kenal perlu adanya
wadah agar langkah pembelajaran dapat berjalan dengan lebih efektif dan sistematis
sehingga hasil pembelajaran dapat optimal dan mencapai sasaran. Dengan demikian
BangMoGI adalah salah satu metode untuk menempatkan prisip-prinsip pembelajaran
kontekstual dalam alur yang sistematis.
Metode pembelajaran BangMoGI
untuk pembelajaran bahasa memiliki 2 siklus pembelajaran yakni; siklus lisan
dan siklus tulis. Pada masing-masing siklus memiliki 4 tahap pembelajaran.
Empat tahap pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut:
A. Bang
(Membangun/Building).
Langkah
ini merupakan langkah awal pada suatu pembelajaran teks. Hal-hal yang dilakukan dalam tahap ini antara lain adalah
sebagai berikut:
a)
Menciptakan
suatu konteks untuk menuju pada jenis teks yang akan diberikan pada pembelajaran yang direncanakan.
b)
Membiasakan siswa berbagi pengalaman.
c)
Mengenalkan kosa kata yang akan
digunakan pada pembelajaran teks yang direncanakan. Untuk membatasinya disini
guru untuk menentukan tema apa yang akan digunakan. Fungsi tema disini bukanlah
merupakan materi pokok melainkan hanya sebagai pembatas bahasan agar tidak
terlalu meluas. Dan jenis teks tertentulah yang harus dikuasai oleh siswa. Jadi
tema hanyalah merupakan alat sebagai pendukung pada jenis teks tertentu.
d)
Tata bahasa yang akan muncul dalam teks
tersebut perlu untuk dibahas dalam tahapan ini.
e)
Mengenalkan
juga wacana interpersonal maupun transaksional sehari hari sehingga siklus
lisan pada setiap tahapan akan lebih mengena pada sasaran.
f)
Mengenalkan fitur-fitur bahasa yang akan
digunakan dalam pembelajaran jenis teks tertentu.
g)
Guru
dapat dengan membawa benda asli maupun realia, menonton video (video untuk
pembelajaran), dan media pembelajaran lain.
B. Mo (Model/Modeling)
Tahapan ini adalah pemodelan
sehingga langkah ini digunakan untuk
mengenalkan, memahami, menganalisa jenis-jenis teks yang sedang atau akan
diberikan dalam proses pembelajaran. Untuk itu perlu beberapa jenis teks yang
memiliki fungsi sosial, stuktur generic, dan fitur-fitur kebahasaan yang sama
atau sepadan. Dengan beberapa jenis teks yang disediakan guru dapat memberikan
gambaran yang lebih jelas dan kongkrit sehingga setelah tahapan Modeling of the
Text tersebut dilalui siswa diharapkan sudah mempunyai bekal antara lain; siswa
dapat menyebutkan fungsi sosial dari teks yang sedang dipelajarai; siswa dapat
mengetahui stuktur generic dari suatu genis teks yang sedang dibahas; siswa
dapat memahami informasi yang ada dalam teks baik informasi yang tersirat
maupun informasi yang tersurat tentang isi bacaan maupun tentang seputar
pengetahuan tentang jenis teks yang sedang dipelajari. Dari beberapa jenis teks
yang disediakan guru perlu memberikan teks tersebut misalnya; teks untuk
mengembangkan kemampuan reading comphehension; teks untuk mengenalkan
karakteristik dari suatu jenis tertentu; teks untuk mengenalkan fungsi sosial
dan fitur-fitur kebahasaan yang terkait; dan hal-hal lain yang perlu untuk
dikembangkan dalam rangka untuk mencapai kompetensi siswa dalam pembelajaran
teks tersebut. Modeling juga dilakukan dalam bentuk lisan pada siklus lisan dan
diberikan dalam bentuk tulis pada siklus tulis.
C. G (Grup/Grouping)
Tahapan
ketiga ini merupakan tahapan dimana anak difasilitasi untuk kerja kelompok.
Dengan instruksi yang jelas dan bisa dimengerti oleh siswa . Guru membantu
proses diskusi; pemecahan masalah dan mengatur agar proses dalam tahapan
tersebut merupakan langkah untuk mengetahui apakah siswa sudah tahu tentang
pembelajaran teks yang sudah dilalui pada tahp pertama dan kedua. Keberhasilan
tahap ini bisa diamati melalui presentasi, demontrasi, atau produk teks yang
mereka hasilkan secara berkelompok dan itu merupakan hasil bersama siswa dan
hasil ini bisa dalam bentuk lisan untuk siklus lisan dan tertulis untuk siklus
tulis. Seandainya dalam tahapan ini guru
belum berhasil memberikan pembelajaran teks ini dan guru belum yakin
kalau siswa sudah memiliki kompetensi secara mandiri sebaiknya guru jangan
terburu-buru untuk melanjutkan pada tahap berikutnya. Dan guru diperkenankan
untuk mengulang, kembali pada tahap sebelumnya dengan penekanan pada hal-hal
yang belum dikuasai siswa. Sehingga dalam tahap yang keempat ini diharapkan
siswa benar-benar sudah memperoleh kompetensi dari pembelajaran teks tersebut.
D.
I (Individual/ Independent)
Tahap ke empat adalah merupakan tahap
untuk mengetahui siswa kita sudah mendapatkan kompetensi atau belum. Dan
penilaian yang sesungguhnya adalah pada tahap ini karena target kita adalah
terkuasainya kompetensi pada setiap individu dalam pembelajaran yang diberikan.
Penilaian proses merupakan retorika untuk mengetahui dalam tahapan-tahapan
untuk mencapai kompetensi individual pada hasil pembelajaran secara mandiri
ini. Jadi kompetensi 75 % dalam pembelajaran teks, jika siswa mampu
berkomunikasi secara lisan dan tertulis dengan menggunakan ragam bahasa yang
sesuai dengan lancar dan akurat dalam wacana interaksional dan/atau monolog
pendek pada pembelajaran teks tertentu. Siswa dikatakan memiliki kompetensi
minimal jika dalam pembelajaran teks siswa tahu, memahami, dan menghasilkan
teks baik secara lisan maupun tertulis dengan memenuhi aturan-aturan
karakteristik pada suatu jenis teks tertentu secara minimal. Jadi bagi siswa
yang sudah memenuhi kompetensi minimal mereka sudah berhak untuk mendapatkan
nilai 75 sebagai nilai bahwa mereka telah mendapatkan kompetensi minimalnya
dari pembelajaran teks. Dan selebihnya nilai akan bertambah ke atas sampai
dengan 100 dan sebaliknya akan berkurang sampai dengan nilai 0 (nol). Jadi
siswa yang lulus kompetensi adalah siswa
yang memperoleh nilai 75 ke atas pada setiap Kompetensi Dasar (KD). Bukan
banyaknya materi yang menjadikan target tetapi seberapa mampu kompetensi yang
harus dikuasai siswa. Karena bagi anak yang sudah benar-benar mendapatkan
kompetensi siswa itu akan mengembangkan diri sebanyak dan semampu ilmu yang
mereka sudah kuasai. Guru dapat berperan sebagai motivator dalam tindak lanjut
dari kompetensi yang sudah dimiliki siswa. Sebagai contoh: Seorang siswa yang
sudah memiliki kompetensi baik lisan maupun tertulis dia akan dapat
mengembangkan kemampuan dirinya untuk yang lebih luas bahkan tak terbatas.
Siswa A sudah memiliki kompetensi dalam pembelajaran deskriptif tentu siswa
tersebut akan mampu untuk mendeskripsikan dia sendiri, ayah, ibu, adik, kakak,
tetangga, teman sekolahnya dan lain-lain karena dia sudah memiliki kompetensi
bagaimanana mendeskripsikan orang. Siswa
B dapat mengembangkan kompetensinya dengan mendeskripsikan tempat yang dia tahu
dan pernah ia kunjungi misalnya: sekolahnya, laboratorium sekolahnya,
perpustakaan sekolahnya, rumahnya, bangunan-bangunan yang dia ketahui dan
bahkan tempat wisata yang pernah dia kunjungi. Siswa C dapat mengembangkan
kompetensinya dengan mendiskripsikan benda-benda yang ia miliki, benda yang ia
senangi dan tidak senangi, bahkan dia mampu untuk mendiskripsikan benda baru
yang dilihatnya dan lain-lain. Para siswa yang kreatif kita dorong untuk dapat
mengembangkan diri untuk mengembangkan kompetensi yang mereka miliki. Dengan
harapan bahwa hasil pembelajaran dapat membekali siswa untuk memiliki
ketrampilan hidup dalam kehidupan mereka (life
skill).
BAB
III
METODE
‘BANGMOGI’ UNTUK PEMBELAJARAN NON-BAHASA
Konsepnya hampir sama
dengan pembelajaran bahasa hanya saja mata pelajaran selain bahasa tidak
memerlukan siklus lisan karena siklus lisan dan tulis dapat diintegrasikan
sesuai dengan materi, situasi dan kondisi pembelajaran itu sendiri. Prinsip
pembelajarannya mengalami empat tahapan. Adapun empat tahapan tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:



I
(Individual/Independent)
A.
Bang (Membangun/Building)
Yaitu suatu tahapan dimana guru membangun pengetahuan atau
piranti atau hal-hal yang berhubungan dengan materi/bahan yang akan
disampaikan/dipelajari/didiskusikan pada tahap pembelajaran selanjutnya. Dalam
hal ini dapat berupa deskipsi, ilustrasi, inquiry, questioning ataupun hal lain yang berhubungan dengan
dunia nyata yang dapat mendukung untuk pembelajaran selanjutnya.
B.
Mo (Model/Modeling)
Pemberian satu atau beberapa model dari materi yang telah
diprogramkan. Kegiatan yang bisa dikembangkan
misalnya: questioning, constructivism dan modeling.
C.
G (Grup/Grouping)
Merupakan tahap melatih siswa untuk dapat bekerja secara
kelompok. Kelompok dapat terdiri 4 siswa atau lebih tergantung situasi dan
kondisi kelas dan materi yang akan dikerjakan. Kegiatan yang dapat dikembangkan
misalnya: lerning community, assessment, evaluation masih dalam grup.
4.
I (Individual/Independent)
Tahapan
ini merupakan tahap untuk mengetahui pencapaian dari langkah-langkah
sebelumnya. Target yang dituju adalah semua peserta didik tuntas. Sehingga
prinsip-prinsip mastery learning ada didalamnya. Kegiatan yang dapat dilakukan
dalam kegiatan ini dapat berupa evaluasi maupun reflection atau pengambilan
nilai end product.
BAB
IV
METODE
’BANGMOGI’ DALAM LESSON PLAN
Implementasi metode
tersebut perlu dituangkan dalam langkah-langkah pembelajaran yang dituliskan
dalam lesson plan maupun dalam unit lesson plan. Hal ini disesuaikan
dengan situasi, kondisi dan materi yang akan dibelajarkan serta tersedianya
waktu yang ada. Adapun contoh lesson plannya
adalah sebagai berikut:

UNIT LESSON
PLAN
Subject :
English
Year/semester : III /
2
Theme :
Flora and Fauna
Kind of text :
Report
Time : 8
x 45 minutes (one meeting)
A. Objective
Students
are able to write a short paragraph to report living things.
B. Learning Activities
Activities
|
Strategies
|
Time
|
1. Pre-activities
a. Greeting and
checking attendance
b. Explaining the objective of the class
today and direct students to it.
|
Questioning
|
10
minutes
(each meeting)
|
2. Whilst-activities
a. Bang (Membangun/Building)
Built ss knowledge about what ss
needs to make run well the next step for example:
Give some pictures, some vocabularies
in discussion, and lexicogrammatical fitures.
b. Mo (Model/Modeling)
Give some model of the report texts
in written
Discuss not about the information of
the texts and but also about social function and generic structure
of the texts.
c. G (Grup/ Grouping)
Learning together to product the
text.
d. I (Individual/ Independent)
The time to product the text his/her
self.
|
Questioning
Inquiry
Class discussion
Modeling
Questioning
Class discussion
Constructivism
Learning community
Constructivism Work
individually
Evaluation
|
2 x 45
minutes
2 x 45
minutes
2 x 45
minutes
2 x 45
minutes
|
3. Post-activities
Students and Teacher make a reflection of
the learning process today.
|
Reflection
|
10
minutes
(each meeting)
|
C. Learning Material
Writing a
report text.
D. Learning Media
Magic Whist
E. Learning Resources
* Models of
the report texts prepared by teacher on the Magic Cards
* Students’
worksheets.
F. Assessments
1. Procedure
a.
Process assessment is taken during the learning process.
b.
Product assessment is taken after the student finish writing.
2. Rubrics
Gombong,
…………..
Headmaster of English
Teacher,


LESSON PLAN
Subject :
English
Year/semester : III /
I
Theme :
Sport
Kind of text :
Procedure text
Time : 2
x 45 minutes (one meeting)
A. Objective
Students
are able to write a short paragraph to report living things.
B. Learning Activities
Activities
|
Strategies
|
Time
|
1. Pre-activities
a. Greeting and
checking attendance
b. Explaining the objective of the class
today and direct students to it.
|
Questioning
|
10
minutes
|
2. Whilst-activities
a. Bang (Membangun/Building)
Built ss knowledge about what ss
needs to make run well the next step for example:
Give some pictures, some vocabularies
in discussion, and lexicogrammatical fitures.
b. Mo (Model/Modeling)
Give some model of the procedure
texts in written
Discuss not about the information of
the texts and but also about social function and generic structure
of the texts.
c. G (Grup/ Grouping)
Learning together to product the
text.
d. I (Individual/ Independent)
The time to product the text his/her
self.
|
Questioning
Inquiry
Class discussion
Modeling
Questioning
Class discussion
Constructivism
Learning community
Constructivism individually
|
10
minutes
30
minutes
20
minutes
15
minutes
|
3. Post-activities
Students and Teacher make a reflection of
the learning process today.
|
Reflection
|
10
minutes
|
C. Learning Material
Writing a
procedure text.
D. Learning Media
Magic Whist
E. Learning Resources
* Models of
the procedure texts prepared by teacher on the Magic Cards
* Students’
worksheets.
F. Assessments
1. Procedure
a.
Process assessment is taken during the learning process.
b.
Product assessment is taken after the student finish writing.
2. Rubrics
Gombong,
…………..
Headmaster of English
Teacher,
SMP ….
BAB V
PENUTUP
Model
Pembelajaran perlu untuk diciptakan untuk mengimplementasikan kurikulum 2004
sekaligus dapat mengimplementasikan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual/ Contextual Teaching and Learning (CTL).
Metode BangMoGI dapat digunakan sebagai salah satu alternatif model
pembelajaran yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah proses pembelajaran
yang cocok untuk implementasi Kurikulum 2004 maupun implementasi Pendekatan
Pembelajaran Kontekstual/ Contextual
Teaching and Learning (CTL) baik mata pelajaran maupun non bahasa.
Langkah-langkah
pembelajaran BangMoGI merupakan alternatif metode yang dapat digunakan untuk
meningkatkan mutu proses pembelajaran yang berdampak pada hasil pembelajaran
yang optimal.
Dengan
demikian bukan hanya mutu proses pembelajaran yang meningkat tetapi kwalitas
dan profesionalisme guru secara bertahap juga meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin Helena I.R, Dra.,
M.A., PhD. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa Inggris.
Jakarta : Dirjendikdasmen.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1999. Kurikulum 1994 dan Suplemennya. Jakarta :
Depdikbud.
Departemen Pendidikan
Nasional. 2004. Kurikulum 2004 Standar
Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Inggris SMP dan MTs. Jakarta : Puskur Balitbang Depdiknas.
Departemen Pendidikan
Nasional. 2002. Pendekatan Kontekstual. Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
DePorter,Bobbi,&Hernacki,Mike.
2005. Quantum Learning. Bandung:
Mizan
Djawanto PS,S.E. 2000. Pokok-pokok Metode Riset dan Bimbingan
Teknis Penulisan Skripsi. Yogyakata : Liberty Yogyakarta.
Priyono, Andreas, Drs. ,
Dipl,Art,M.Sc.Ed. dan Drs. H. Djunaedi. 2001. Petunjuk Praktis Classroom
Based Action Reseach. Semarang
: Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP Jateng.
Sofwan, Ahmad, Ph.D. 2005. Improving The Practice of Teaching English
as A Foreign Langguage and Developing Teachers’ Professionalism.
Makalah Simposium Bahasa Inggris 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar